Jadi ceritanya, sore ini aku pergi ke toko buku dan alat tulis di dekat sekolahku. Saat sampai di kasir, aku berdiri antri di belakang sepasang suami istri, angka lebih dari 100.000 sudah muncul di komputer kasir, dan terus bertambah.
Hm, belanja sebelum masuk sekolah nih.. pikirku, soalnya barang-barang yang ada di meja kasir itu barang-barang keperluan anak sekolah dan beberapa keperluan kantor. Aku liat ke sekeliling, ada beberapa anak kecil di sekitar kasir. Aku perhatikan, ternyata ada 4 anak itu sama-sama menunggu si suami istri di kasir. Mungkin keempat bocah itu anaknya si bapak-ibu yang lagi bayar..
3 anak perempuan, 1 anak laki-laki.
Kalo diliat-liat, anak pertama perempuan yang dipanggil "Mbak" oleh anak-anak lainnya, sepertinya seusia anak SD kelas 4 -- oya tadi si ibu itu beli buku untuk kelas 5, mungkin si Mbak ini naik kelas 5. Anak kedua laki-laki sekitar SD kelas 3, mungkin naik kelas 4 -- sebut saja si "Mas". Lalu anak ketiga dan keempat perempuan, sebut saja Bunga dan si Bontot. 2 anak perempuan terkecil ini masing-masing memegang buku di tangannya-- buku mewarnai.
Kalo diliat-liat, anak pertama perempuan yang dipanggil "Mbak" oleh anak-anak lainnya, sepertinya seusia anak SD kelas 4 -- oya tadi si ibu itu beli buku untuk kelas 5, mungkin si Mbak ini naik kelas 5. Anak kedua laki-laki sekitar SD kelas 3, mungkin naik kelas 4 -- sebut saja si "Mas". Lalu anak ketiga dan keempat perempuan, sebut saja Bunga dan si Bontot. 2 anak perempuan terkecil ini masing-masing memegang buku di tangannya-- buku mewarnai.
Ya, keluarga ini yang aku perhatikan selama menunggu antrian.
Sementara orangtuanya membayar di kasir, si Mbak dan si Mas ngurusin adiknya. Si Bunga memegang 3 buku-- 2 buku besar dan 1 buku kecil -- yang semuanya tipis dan sederhana. Si Bontot memegang 3 buku juga, semuanya terlihat tebal, salah satu cover buku ada glitter-glitternya -- jauh lebih menarik daripada yang dipegang si Bunga, dan terlihat mahal.
Lalu si Mas bilang gini ke Bontot "Nih, Bunga cuma 2"
Bunga : "Iya nih 2" belakangan buku yang kecil ga jadi dipegang, ditaroh di rak meja kasir.
si Bontot diem aja, memegang bukunya makin erat di dada.
Mas : "Tuh... Yuh, liat ke sana yuh. Balikin yang satunya" nada suaranya kalem. Aku dapet kesan si Mas ini orangnya baik dan halus. Si bontot tetap bergeming. Dari matanya terlihat dia nggak rela.
Mbak : "Iya, Bunga aja 2 tuh. Kamu juga 2 aja, ya?" Si Mbak lalu ikut duduk di rak deket kasir, di samping adiknya. Si Mbak ini sikapnya dewasa dan ngemong banget.
Si bontot lalu menggumamkan sesuatu ke Mbaknya, nggak terdengar jelas. Tapi aku bisa ngerti si Bontot pengen ketiga buku yang ditangannya dan nggak pengen mengembalikan salah satu.
Huaaah... Kondisi ini yang aku perhatiin, Dear Reader.
Penjatahan jumlah buku yang dibeli waktu sama-sama pergi ke toko buku, hm..
Aku ingat, dulu aku dan kakak-kakakku kalo diajak ke toko buku sama Bapak Ibu, kami juga dijatah. Aku lupa penjatahannya gimana, tapi kayanya Ibu pernah cerita kalo Mas sama Mbak dijatah boleh beli buku untuk maksimal harga yang sama, yaitu sekian rupiah. Karna aku si Bontot yang jaraknya agak jauh sama Mbak Mas, jatahku lebih sedikit dibanding mereka. Biasanya aku milih buku cerita Winnie The Pooh yang gambarnya imut-imut dan biasanya buku itu bakal jadi Bedtime Stories yang Bapak bacain sebelum tidur.
Manis, ya :)
Back to the story yah..
Sewaktu kakak-beradik itu membujuk si Bontot untuk mengembalikan bukunya, ternyata si Ibu sekali waktu memperhatikan perbincangan anak-anaknya, tapi memilih diam. Akhirnya, si Ibu angkat bicara.
Ibu : "Sini, mana yang mau dibeli" si Bunga dan Bontot menyerahkan buku di tangan mereka dengan patuh
Si Ibu melihat-lihat buku-buku itu, ngeliat label harganya juga.
Ibu : "Kok belinya buku-buku yang kaya gini.. Mau buat apa sih..." si anak diam semua. Si Ibu tampak menimbang-nimbang
Ibu : "Belinya buku yang kaya gini aja ya" sambil menunjukkan buku-buku yang tadi dipegang si Bunga.
Si Bontot manggut-manggut patuh. Terlihat sedih, tapi tidak membantah. Si Ibu menyerahkan buku-buku mewah tadi ke si Bontot, lalu si Bontot dan Mbaknya pergi menuju rak tempat asal buku itu. Tak lama, mereka kembali ke kasir dan menyerahkan buku yang sama seperti yang dipegang Si Bunga tadi kepada ibunya. Buku-buku itu segera dibayar. Totalnya hampir 300 ribu. Sementara si Ibu membayar, si Bapak pergi keluar membawa satu keresek belanjaan mereka, menyusul anak-anaknya yang menunggu di luar.
Hmm.. Hmm...
Cerita seperti itu pasti banyak terjadi di banyak keluarga lain di Indonesia. Cerita yang lazim, wajar, dan umum. Lalu kenapa cerita sewajar ini harus aku ceritakan?
It is about the value.
Anak diajari untuk tau batasan, sadar kemampuan, dan memahami keadaan. Kepatuhan bukan karna dikte, tapi karena mengerti. Anak juga dibiasakan untuk menghargai yang "sedikit" sebagai sesuatu yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
Efeknya apa? Seperti yang tampak di sikap si Mbak dan si Mas dalam kejadian sore tadi, yaitu sikap yang dewasa dan prihatin. Sikap yang penting untuk dimiliki tiap anak.
Karena dengan sikap itu muncul kegigihan dan kerja keras, bekal yang sangat baik untuk menjalani hidup yang sesungguhnya.
Mungkin, keluarga tadi termasuk keluarga dengan ekonomi menengah. Pendidikan sebisa mungkin diutamakan, tapi dalam proporsi yang bisa dijangkau untuk tetap memenuhi kebutuhan yang lain.
Hm, pasti nggak mudah ngaturnya...
Sekarang aku udah nggak pake jatah-jatahan lagi kalo beli buku, Alhamdulillaah Ya Rabb Ya Wahhaab..
Sekarang kalo mau beli-beli keperluan sekolah, buku-buku yang bermanfaat terutama yang menunjang belajar, tinggal beli aja.
Tadi melihat anak-anak itu, aku jadi malu. Dengan segala fasilitas dan kemudahan yang aku punya, kenapa aku masih mengeluhkan banyak hal? Masih membuat alibi-alibi dan excuses untuk nggak melakukan sesuatu yang seharusnya aku lakukan. Malu banget. Udah nggak punya rasa prihatin lagi, lama-lama aku mungkin nggak bisa menghargai pemberian. Astagfirullaah... jangan sampe..
Hm.. Lalu aku jadi membayangkan keluarga-keluarga lain yang jauh lebih kurang beruntung daripada keluarga tadi -- pasti banyak banget di Indonesia.
Keluarga-keluarga itu, yang bahkan nggak sempet mikirin pendidikan -- atau bahkan nggak peduli, seperti apa ya? Mereka nggak kenal buku, nggak peduli pendidikan. Lebih parah lagi kalo lingkungannya juga nggak mendukung untuk pendidikan meskipun sedikit.
Anak-anak tau mereka nggak punya uang, tapi sekalinya punya uang malah mereka bakar sendiri dengan beli rokok.
Miris. Sedih banget nggak sih?
Sedih banget kalo nggak bisa mengenal betapa luarbiasanya buku itu...
Mereka yang nggak mengenal buku nggak akan tau betapa luasnya dunia yang bisa ada di lembaran-lembaran kertas ringkih tapi luarbiasa itu...
Lagi, lagi, dan lagi... Alhamdulillaah untuk segalanya yang Allah SWT berikan untukku, melalui berbagai cara.
Aku berharap, mudah-mudahan makin kesini orang Indonesia makin sadar apa yang baik untuk kehidupan mereka ke depan, bukan hanya yang baik untuk saat ini. Mudah-mudahan mereka yang kekurangan tetap punya banyak cara untuk maju, maju, dan maju demi mereka sendiri, dan demi masyarakat yang madani.
Thanks for reading, Dear Reader. Feedbacks are so welcomed :)
Anak diajari untuk tau batasan, sadar kemampuan, dan memahami keadaan. Kepatuhan bukan karna dikte, tapi karena mengerti. Anak juga dibiasakan untuk menghargai yang "sedikit" sebagai sesuatu yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
Efeknya apa? Seperti yang tampak di sikap si Mbak dan si Mas dalam kejadian sore tadi, yaitu sikap yang dewasa dan prihatin. Sikap yang penting untuk dimiliki tiap anak.
Karena dengan sikap itu muncul kegigihan dan kerja keras, bekal yang sangat baik untuk menjalani hidup yang sesungguhnya.
Mungkin, keluarga tadi termasuk keluarga dengan ekonomi menengah. Pendidikan sebisa mungkin diutamakan, tapi dalam proporsi yang bisa dijangkau untuk tetap memenuhi kebutuhan yang lain.
Hm, pasti nggak mudah ngaturnya...
Sekarang aku udah nggak pake jatah-jatahan lagi kalo beli buku, Alhamdulillaah Ya Rabb Ya Wahhaab..
Sekarang kalo mau beli-beli keperluan sekolah, buku-buku yang bermanfaat terutama yang menunjang belajar, tinggal beli aja.
Tadi melihat anak-anak itu, aku jadi malu. Dengan segala fasilitas dan kemudahan yang aku punya, kenapa aku masih mengeluhkan banyak hal? Masih membuat alibi-alibi dan excuses untuk nggak melakukan sesuatu yang seharusnya aku lakukan. Malu banget. Udah nggak punya rasa prihatin lagi, lama-lama aku mungkin nggak bisa menghargai pemberian. Astagfirullaah... jangan sampe..
Hm.. Lalu aku jadi membayangkan keluarga-keluarga lain yang jauh lebih kurang beruntung daripada keluarga tadi -- pasti banyak banget di Indonesia.
Keluarga-keluarga itu, yang bahkan nggak sempet mikirin pendidikan -- atau bahkan nggak peduli, seperti apa ya? Mereka nggak kenal buku, nggak peduli pendidikan. Lebih parah lagi kalo lingkungannya juga nggak mendukung untuk pendidikan meskipun sedikit.
Anak-anak tau mereka nggak punya uang, tapi sekalinya punya uang malah mereka bakar sendiri dengan beli rokok.
Miris. Sedih banget nggak sih?
Sedih banget kalo nggak bisa mengenal betapa luarbiasanya buku itu...
Mereka yang nggak mengenal buku nggak akan tau betapa luasnya dunia yang bisa ada di lembaran-lembaran kertas ringkih tapi luarbiasa itu...
Lagi, lagi, dan lagi... Alhamdulillaah untuk segalanya yang Allah SWT berikan untukku, melalui berbagai cara.
Aku berharap, mudah-mudahan makin kesini orang Indonesia makin sadar apa yang baik untuk kehidupan mereka ke depan, bukan hanya yang baik untuk saat ini. Mudah-mudahan mereka yang kekurangan tetap punya banyak cara untuk maju, maju, dan maju demi mereka sendiri, dan demi masyarakat yang madani.
Thanks for reading, Dear Reader. Feedbacks are so welcomed :)
No comments:
Post a Comment
comments are well-welcomed, Dear Readers. Please do write some, thank you.